PONDOK PESANTREN AL-BASYIR
Muhammad Basyir (Pendiri Pondok Pesantren Al Basyir)
Dakwah Islam di Takerharjo
tidak bisa dilepaskan dari peran seorang tokok bernama Muhammad Basyir. Beliau
adalah seorang hamba Allah yang
ditakdirkan sebagai mubaligh dan guru
ngaji pertama di Takerharjo. Kiai Muhammad Basyir lahir di Kediren
Kalitengan Lamongan pada tahun 1891.
Sejak berusia belia Kiai Muhammad Basyir nyantri di Pondok
Pesantren Luwayu, Dukun, Kabupaten Gersik di bawah asuhan KH Syamsauri. Sebagai
santri, beliau tergolong sartri yang taat. K.H. Syamsauri sangat menyukainya,
sihingga pada 1918 Kiai Muhammad Basyir dinikahkan dengan putri sang kiai yang
bernama Syafuro.
Setelah menikah itulah Kiai
Muhammad Basyir mulai berkiprah di
Takerharjo. Beliau menapak “karir” sebagai guru ngaji. Oleh karena jumlah
santri yang semakin hari terus bertambah
maka Alhamdulillah dengan izin Allah SWT. beliau dapat mendirikan sebuah pondok
pesantren yang kelak dikenal dengan
Pondok Pesantren Al-Basyir Jln. K. Basyir No. 11 Rt. 03 Rw. 03 Takerharjo,
NSP: 510035240168.
Podok pesanttren yang
beliau rintis itu terus berkembang. Semakin bertambah hari, para santri terus
berdatangan. Lambat laun tidak cuma santri dari Takerharjo saja yang mengais
ilmu di pesantren itu. Beberapa santri dari daerh-daerah luar Takerharjo juga
belajar di situ. Misalnya para santri
berasal dari desa-desa di kecamatan Dukun, Kecamatan Paciran, Kecamatan
Kalitenga, Kecamatan Turi, Kecamatan Karanggeneng, dan lain-lain.
Semangat Kiai Muhammad
Basyir semakin menggelora. Guna melebarkan sayap dakwah di Takerharjo, pada
1920 alhamdulillah dengan izin Allah SWT.
beliau lalu merintis pendirian masjid bersama H. Abdul Hamid dan tokoh- tokok
masyarakat Takerharjo lain. Masjid yang terletak di tengah-tengah desa Takerharjo itu kelak bernama
Masjid Jami’ Al-Jihad. Jln: Masjid 01 Rt. 03
Rw. 01 Takerharjo.
Beberapa tahun berjalan pada tanggal 29 Desember 1926, alhamdulillah dengan izin Allah SWT. Kiai
Muhammad Basyir ditunjuk secara resmi
oleh Bupati Lamongan Hario untuk menjadi guru ngaji di Pondok Pesantren Al-Basyir. Kitab-kitab yang
diampuh adalah Al-Qur’an, Berzanji, Sulam Taufiq, Safinatun Najah dan
lain-lain. Kitab-kitab itu juga sepengetahuan
pemerintah Belanda. Sebab pada zaman Penjajahan dahulu guru baru bisa
mengajar santri jika semua kitab yang diajarkan sesuai dengan ketentuan
Pemerinth Belanda.
Sayang Kiai Muhammad Basyir tidak dikaruniai umur
panjang. Tahun 1940 beliau wafat dalam usia 49 tahun. Mengarungi hidup bersama
Nyai Syafuro beliau meninggalkan enam keturunan
yaitu Tsauban (wafat masih kecil), Muhammad Syafi’I (wafat umur 20
tahun), Salamah, Fathona, Safinah dan Syari’ah.
Kiai Hamdan (Penerus K. Muhammad Basyir)
Sepeninggal KIAI MUHAMMAD
BASYIR, Nyai Syafuro’ sang istri
menikah dengan Kiai Abdus Salam
dan mempunyai seorang putri bernama Aminah. Adapun pondok pesantren yang
beliau rintis diteruskan oleh menantunya yaitu Kiai Hamdan (karib dipanggil
Kiai Kandam) yang menikah dengan Salamah pada 1940.
Pria
kelahiran Kediren Kalitengah Lamongan
1918 itu tidak lain adalah santri
Kiai Muhammad Basyir sendiri yang
kemudian meneruskan belajar kesebuah pesantren di Madura. Menikah dengan Kiai
Hamdan, Nyai Salamah dikaruniai empat putra
M. Atho’ur-Rahmam (wafat masih kecil), M. Suzaini, M. Tsabit, dan M. Nur Salim (wafat masih
kecil).
Sementara
kepengasuhan Kiai Hamdan di Pondok Pesantren Al-Basyir bisa dibilang singkat.
Tanggal 12 November 1950 beliau mendapat tugas resmi dari Kantor Agama
Daerah Bojonegoro dalam surat Nomor 3025/A/1950 untuk “memberi penerangan Agama
Islam”. Dan dua tahun berselang yaitu pada 1952
Kiai Hamdan wafat dalam usia yang sangat muda 34 tahun.
Sepeninggal Kiai Hamdan, Nyai Salamah
menikah lagi dengan Kiai Abdul-Hamid dan mempunyai seorang putra bernama Abdul Hakim. Tidak lama
berselang keduanya bercerai.
Meskipuk Kiai Hamdan sudah tiada, bukan
berarti Pondok Pesantren Al-Basyir tidak lagi dibutuhkan masyarakat Takerharjo.
Justru setiap datang waktu sholat wajib warga Takerharjo secara rutin datang ke
Pondok Pesantren Al-Basyir untuk mandi
dan melakukan sholat berjamaah bersama santri putra dan santri putri diasuh oleh Nyai Salamah.
Pada tahun 1970 setelah menyelesaikn
tugas belajar, penulis (M. Suzaini) mengadakan
pembelajaran membaca Al-Qur’an untuk anak-anak setelah selesai jamaah sholat
Maghrib dan belajar memabaca kitab-kitab
kuning, seperti: Tafsir Jalalaini, Riyadlush-Solihin, Bulughul-Maram, ‘imriti
dan lain-lain, untuk remaja, setelah jamaah sholat Shubuh.
Seiring dengan berjalannya waktu tahun
1991 penulis dan para saudara mewakafkan tanah dilokasi Pondok Pesantren Al-Basyir
atas nama Nyai Salamah dan Papak Warjan untuk pembanguna gedung Madrasah
Tsanawiyah Suwasta (MTs.S.) dan Madrash Aliyah Suwasta (MAS) Muhammadiyah.
Wakaf tanah itu untuk “lahan da’wah di bidang pendidikan bagi pewakaf, segenap
anak cucu dan masyarakat.
@khusyudulhibri